Hokaido, 3 Januari 2010
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sahabatku, Hasna, bagaimana kabarmu di sana? Akhirnya aku
sempat menulis email untukmu setelah dua bulan aku di sini. Saat menulis email ini,
aku sedang menyantap sarapan dengan donburi
di seberang ryokan tempat aku
menginap. Udara di sini hampir -3 derajat celcius, jaket tiga lapis pun serasa
tak ada fungsinya. Sepertinya kamu tak akan cocok tinggal di sini, karena pasti
kamu akan berhibernasi sepanjang hari. Haha, teringat saat kita ke Malang, dan
kau kerjanya tidur seharian karena dinginnya cuaca.
Hasna, sahabatku. Kau tahu? Hari ini aku memakai
kerudung merah hati yang kamu berikan saat mengantar kepergianku di bandara.
Sangat pas dipadukan dengan mantel merah pemberian ibuku. Orang-orang di sini
pun tak ada yang mempermasalahkan jilbabku, mereka sangat ramah dan terbuka. Sesekali
ada lelaki yang mengajakku bersalaman, namun aku hanya tersenyum sambil
menelungkupkan kedua tangan, dan berkata “I’m
a Mosleemah, and Mosleemah
never touch or being touched by strange men, except their mahram.” Mereka pun mengerti, malah kembali tersenyum padaku
tanpa merasa tersinggung.
Hasna, sahabatku. Tak bisa kubayangkan bagaimana
jadinya diriku jika aku tidak bertemu kembali denganmu saat itu. Menjadi yang
tersesat, tak punya arah dan tujuan hidup. Bukan ke kiri, dan bukan juga ke
kanan. Bukan hitam atau putih, tapi abu-abu. Namun, saat dirimu hadir, aku bisa
menentukan jalanku. Semoga Allah terus menjadikan kita sahabat, dunia dan
akhirat.
NB: Meski aku
yakin tempat ini tak cocok denganmu, tapi aku berharap kamu di sini bersamaku,
menikmati turunnya salju di langit Jepang.
Salam,
Ayu
***
8 bulan yang lalu...
“Bagaimana rencana studimu ke Jepang, Yu?” tiba-tiba
Anggun membuyarkan lamunanku saat kami berjalan pulang.
“Belum ada perkembangan. Banyak yang ga cocok, biaya tambahan
ini itu lah, musimnya lah, tempat tinggalnya lah. Huh, banyak alasan pokoknya,”
aku mendengus kesal, pasalnya sudah satu semester aku mencari-cari beasiswa
pertukaran pelajar, namun tak kunjung membuahkan hasil.
“Itu namanya belum rejeki. Kalau udah saatnya, nanti
juga dateng sendiri. Aku duluan ya!” Anggun melambaikan tangannya dan aku pun
membalas lambaian tangannya, lantas ia memisahkan diri di pertigaan jalan.
Langit senja kali ini memberikan makna terdalam
bagiku. Cahaya keemasannya membuatku bertanya-tanya dalam hati, apa usahaku selama ini masih kurang
maksimal? Apa lagi yang kurang?
Ketika hampir sampai di rumah, aku melihat sosok yang
sangat kukenal namun tampak asing, sedang berdiri di depan rumahku. Hampir aku
tak mengenalinya, sampai aku berjalan mendekatinya.
“Hasna! Kamu sudah kembali? Sejak kapan? Apa kamu
kembali menempati rumah itu? Dan.. jilbabmu?” aku antusias menodongnya dengan
berentet pertanyaan. Bagaimana tidak, setelah empat tahun tak berjumpa, aku
bertemu kembali dengan Hasna, temanku sekaligus tetanggaku sejak kecil. Ia dan
keluarganya pindah ke Batam karena pindah tugas ayahnya. Dan kini ia ada di
hadapanku, dengan penampilan yang sangat berubah.
“Bagaimana kalau kita minum teh di rumahku?” ia
tersenyum, masih dengan senyuman yang sama ketika terakhir kali aku melihatnya.
Di teras rumahnya—yang tepat di samping rumahku—kami
saling bercerita, terutama tentang perubahan yang kini ia alami. Kami memang
sudah berjilbab sejak SMP, namun itu pun karena memang diwajibkan oleh sekolah.
Kini, sangat terasa perubahan yang ada dalam dirinya: jilbabnya semakin
melebar, rok, dan.. apa itu? Manset? Isi pembicaraannya pun sudah bukan tentang
komik-komik jepang atau film-film korea, tetapi tentang kecintaanya pada
agamanya, agama kami. Sempat terbesit dalam benak, kami berdua sama-sama
beragama Islam, namun mengapa kami berdua tampak begitu berbeda? Apa yang membuatnya
begitu cinta dengan Tuhannya—Tuhan kami?
Selama
ini, kupikir cukup dengan shalat wajib lima waktu untuk menunjukkan keislamanku—meskipun
aku sering melewatkan shalat subuh dan isya. Aku sering bergaul dengan teman
laki-laki, pergi ke mall atau ke tempat hiburan lain untuk sekedar hang out melepas penat setelah kuliah. Selama
aku tak melakukan perbuatan yang dilarang Allah—berzina, minum-minuman keras,
memakan daging babi, dll—aku telah merasa berada dalam jalan kebaikan. Obsesiku
saat ini adalah bisa menuntut ilmu di Jepang, dengan segudang prestasi yang
kumiliki, aku rasa aku mampu untuk mencapai cita-citaku itu.
***
“Kau tahu? Ada 4 macam jiwa dalam diri manusia.
Pertama, jiwa yang selalu memerintahkan keburukan, atau disebut juga al nafs al ammarah,” kata Hasna saat
kami sedang berdiskusi di teras rumahku. “Jiwa inilah yang mendorong pemiliknya
untuk melakukan segala yang mendatangkan murka Allah Swt. Nafsu semacam ini
selalu menguasai pemiliknya dan mendorongnya kepada maksiat,” lanjutnya. Aku
pun mendengarkannya dengan seksama.
“Seperti para pezina?”
“Ya, pezina yang ‘istiqomah’ dengan sikap maksiatnya,”
katanya membenarkan. “Jiwa yang kedua adalah jiwa yang menyesali diri atau yang
disebut al nafs al lawwamah. Ketika
manusia melakukan maksiat, itu membuatnya berpikir bagaimana ia bisa melakukan
itu? Dan mengapa? Itulah jiwa yang setiap kali jatuh dalam kesalahan, begitu
resah, merasa bersalah, dan takut kepada Allah.”
“Orang yang seperti apa dia?”
“Selayaknya orang yang ingin bertaubat,” Hasna
tersenyum penuh arti padaku. “Ketiga, jiwa yang tentram atau al nafs al muthmainnah. Inilah jiwa yang
takut dan berharap Allah Swt. Serta senantiasa ridha kepadaNya. Meskipun semua
orang di sekitarnya merasa bingung, resah, dan takut, orang yang berjiwa
tentram tidak resah sedikitpun.”
“Pasti beruntung orang yang memiliki jiwa seperti
itu,” aku tertunduk lesu, merasa belum pantas memiliki jiwa seperti itu.
“Dan kau tahu yang terakhir?”
“Apa itu?”
“Jiwa yang lalai atau al nafs al ghafilah. Inilah jenis jiwa yang paling berbahaya. Ia
bukanlah pemilik jiwa yang memerintahkan keburukan, namun juga bukan orang yang
taat dan bersungguh-sungguh menuju Allah Swt. Ia tersesat.” Seketika aku
tercekat mendengar kalimat terakhirnya, sangat menghunus tepat di relung hati.
Lantas hasna melanjutkan, “Percayakah kamu bahwa tobat orang yang lalai ini
lebih sulit dari pada tobatnya jiwa yang memerintahkan keburukan?”
“Mengapa?”
“Karena ada satu kelebihan dari pemilik jiwa yang
selalu memerintahkan keburukan, ia memiliki prinsip atas keburukan yang ia
lakukan. Ia bisa kapan saja berbelok ke kanan meskipun sebelumnya ia berjalan
di kiri, yang penting ia memilih satu di antara dua: kiri atau kanan. Sedangkan
jiwa yang lalai tidak memilih keduanya, ia berada di tengah-tengah karena ia
tak memiliki prinsip. Lebih jauh lagi, karena ia tak memiliki arah tujuan.”
Tiba-tiba badanku bergetar, seolah ada yang masuk
dalam relung hati ini. Apa aku tersesat?
...(to be continued)
Ndit, cerpennya rili msk in ke salah satu kolom buletin keputrian fapsi yaa... hehee... ndit jd penulis tetap insyaAllah ^_^
BalasHapus