Bismillah...
Hampir menjelang usia dua tahun pernikahanku..
Di awal pernikahan, sempat berpikir ingin menunda untuk memiliki momongan, karena beberapa alasan termasuk aku dan suami yang masih kuliah. Seakan ingin menikmati masa pacaran setelah pernikahan, kami tak ingin diganggu dulu oleh suara tangis dan repotnya mengurus bayi. Sampai suatu saat, tak sengaja mendengar rekaman ta'lim Darusy Syabab binaan kang Rendy Saputra. Beliau berkata bahwa menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fitrah dan sunnatullah yang tidak bisa dielakkan. "Jika tidak ingin punya anak, ya tidak usah menikah" ujarnya ketika melihat fenomena orang-orang barat yang menikah dan lebih memilih memelihara anjing dari pada memiliki anak.
Ada rasa hati yang kosong ketika mendengar tausiah beliau..
Bukankah dahulu menjadi cita-citaku untuk menikah muda dan langsung punya anak, sehingga jarak usiaku dan anakku tak begitu jauh? Cita-cita membangun keluarga sekaligus tempat peradaban baru untuk umat yang lebih baik.
Apa diriku merasa cemas? Bagaimana jika aku kesulitan mengurus anakku? Bagaimana jika kuliahku menjadi keteteran? Bagaimana jika aku tak bisa membiayai kehidupan anakku?
Dan pertanyaan "bagaimana jika" lainnya terus menggelayuti pikiranku.
Aku pun tersadar sedang 'menentang' takdir Allah.
Siapalah diriku yang takut tak bisa memberi makan anakku nanti, sedangkan Allah yang Maha Pemberi Rizki telah menjamin rezeki anakku?
Siapalah diriku yang takut tak bisa melanjutkan kuliah, sedangkan aku punya Allah yang selalu memberiku kekuatan?
Baiklah, akhirnya aku bertekad untuk segera memiliki momongan, dan Allah cepat sekali mengabulkan permintaanku. Betapa bahagianya aku ketika mengetahui diriku hamil, tujuh minggu setelah hari pernikahanku. Suami, keluarga, dan teman-teman kuliah ikut senang dengan berita ini. Saat pertama kali periksa ke dokter kandungan, ternyata sang janin telah berusia lima minggu. Masih belum terlihat apa-apa, hanya seperti gumpalan daging. Meskipun begitu, aku tak dapat membendung kesenangan yang kurasakan.
Pertanyaan yang paling sering terdengar dari teman-teman adalah, "gimana rasanya hamil, ndit?", yang sering pula kujawab, "seperti ada kupu-kupu terbang di dalam perutmu yang harus kau jaga dengan hati-hati" sambil tertawa kecil.
Namun, kesenangan itu hanya sementara..
Pagi itu, aku berangkat kuliah seperti biasanya, dan pulang ke rumah di sore harinya. Saat ingin membersihkan diri, ternyata ada sedikit flek yang keluar. Aku lantas lapor ke suami, dan suami menyuruhku bedrest di rumah. Kemungkinan flek itu karena aku yang terlalu lelah menjalani aktivitas. Esoknya, aku pun menuruti titah suami untuk seharian bedrest dan izin tak masuk kuliah, dengan harapan flek tersebut dapat berkurang.
Setelah dirasa cukup istirahat di rumah, esoknya aku masuk kuliah lagi seperti biasa. Namun, flek bukannya berkurang, malah semakin bertambah banyak. Aku dan suami mulai panik. Sore itu, suami menelepon rumah sakit terdekat dan lansung mendaftarkanku sebagai pasien.
Magrib hampir menjelang, aku dan suami segera pergi ke rumah sakit. Setelah mendengar keluhan dariku, sang dokter dengan sigap langsung melakukan pemeriksaan dalam (USG transvagina) dan melihat kondisi janinku. Dokter belum bisa mendiagnosa apa-apa karena ukuran janinku seperti usia lima minggu, padahal saat itu seharusnya kandunganku berusia 11 minggu. Itu artinya, janinku tidak berkembang. Dokter memberiku obat penguat kandungan dengan harapan janin ini masih bisa diselamatkan.
Keluar dari ruangan dokter, badanku terasa lemas, tak ada semangat lagi untuk mempertahankan janin ini. Air mata tak terbendung saat menunggu obat dari dokter. Pun sesampainya di rumah, aku masih menangis dengan perasaan kehilangan yang amat mendalam. Nasib calon janinku antara hidup-mati. Meski Allah belum meniupkan ruh padanya, namun aku merasakan ada jiwa yang hidup dalam rahimku.
Suami segera menelepon orang tuaku dan menceritakan segalanya. Akhirnya kedua orang tuaku memutuskan untuk berangkat ke jatinangor dari bekasi malam itu untuk menjemputku. Sekitar jam 9 malam orangtuaku datang. Setelah bersiap-siap, kami pun berangkat kembali menuju bekasi.
Selama di jalan tol, perutku mulai menandakan tanda-tanda kontraksi. Semakin lama kontraksi terasa semakin dahsyat setiap 5 menit sekali. Alhamdulillah suami setia menemani di samping. Seperti kontraksi ingin melahirkan. Aku hanya bisa meringis-menangis menahan sakit, sambil terus beristighfar selama perjalanan.
Rencananya setelah keluar dari tol, kami langsung ke IGD rumah sakit terdekat. Namun sebelum keluar tol, kontraksi sudah menghilang dan aku pun ketiduran, karena kelelahan merasakan kontraksi. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.
Beberapa langkah setelah turun dari mobil, terasa ada yang keluar dari rahimku. Seperti darah yang keluar saat haid sedang banyak-banyaknya. Setelah ditilik, ternyata ada darah menetes lumayan banyak. Aku pun segera ke kamar mandi dan mendapati calon janinku sudah keluar. Seperti gumpalan daging berukuran kepalan tangan.
Ya, dia sudah pergi. Allah menitipkannya padaku hanya sampai di sini. Alhamdulillah, lega rasanya. Tidak ada air mata, tidak sesedih saat keluar dari ruangan dokter. Allah telah menetapkan takdirNya, dan aku belajar untuk menerima dan memahami maknanya.
Alhamdulillah, sang calon janin tidak terlalu menyusahkan. Setelah periksa ke dokter kandungan, ternyata keguguran ini masuk pada kategori abortus complet karena keguguran ini tidak menyisakan apapun di dalam rahim, lengkap keluar seluruhnya. Dokter hanya memberi obat untuk peluruhan dinding rahim yang masih tebal. Kata dokter, banyak faktor yang menyebabkan janinku tidak berkembang dan akhirnya gugur. Dokter pun menyarankan untuk tidak hamil dulu selama empat kali haid agar rahimku kembali kuat.
Alhamdulillah, Allah berikan aku kesempatan merasakan rasanya hamil.
Merasakan tumbuhnya janin dalam rahimku.
Alhamdulillah wa syukurillah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar